Makna Blog yang Sebenarnya

Note: Post yang agak panjang, tapi jangan fast-reading. Ada yang ingin saya ungkapkan di sini.

Dunia semakin maju, teknologi semakin berkembang, kemampuan masyarakat pun meningkat. Mereka yang dulu tidak mengenal internet jadi melek, dan bisa menggunakan internet. Tentunya ini sebuah kemajuan yang patut disyukuri. Bukti bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai bangkit dari keterpurukan.

Blog, ya, masyarakat Indonesia kini sangat tergila-gila dengan media penulisan yang satu ini. Itu bisa dilihat dari banyaknya blog-blog berbahasa Indonesia yang simpang siur di blog-o-sphere. Kreatif, ya, itulah tujuan blog pada awalnya, agar setiap orang yang menggunakannya menjadi lebih kreatif dan teknik menulisnya menjadi lebih baik. Sayangnya, banyak orang yang tidak tahu apa dan mengapa blog itu ada. Jadi, apa sebenarnya blog itu?

Blog, menurut aplikasi kamus WordWeb di PC saya, adalah sebagai berikut:

Noun: blog

  • A shared on-line journal where people can post diary entries about their personal experiences and hobbies

Ya, “personal experiences and hobbies” adalah kata kunci yang harus kita tekankan di sini. Tulisan-tulisan yang ada di blog seharusnya berupa pengalaman pribadi dan beberapa hobi mereka. Misalnya blog ini yang membahas tentang pengalaman dan beberapa hobi saya: Suikoden, sepak bola, dan anime. Lalu blog Xaliber yang berisi tentang ketertarikan beliau dengan yang namanya perang, Nazi, dan segala hal yang berbau militeristik. Magister of Chaos yang memiliki ketertarikan hampir sama dengan Xaliber, tapi membuat beberapa post tentang strategi perang.

Bang Gun yang blognya berisi tentang hal-hal yang berhubungan dengan Chinese, puisi, dan seni. Kopral Geddoe yang blognya berisi tentang sepak bola, agama, Teori Evolusi, dan artwork. Mas Sora yang mengisi blognya dengan sepak bola, hal yang berbau Arsenal, bermacam-macam tutorial Photoshop dan Nihongo. Mbak Chika yang mayoritas tulisan di blognya berisi curhatan atau pengalaman beliau. Pak Fertob yang tulisannya kental beraroma filsafat, dan berbagai istilah yang berkaitan dengan psikologi, dan sepertinya punya ketertarikan dengan game juga.

Sedangkan jika dikaitkan dengan journal, maka:

Noun: journal – jurn(u)l

  1. A daily written record of (usually personal) experiences and observations.
  2. A periodical dedicated to a particular subject.
  3. A ledger in which transactions have been recorded as they occurred.
  4. A record book as a physical object.

Ternyata journal pun berkaitan dengan berbagai macam pengalaman, penelitian, dan catatan ilmiah. Dengan begini, blog pun seharusnya memiliki ciri-ciri dan sifat seperti yang saya sebutkan di atas.

Bagaimana dengan blogblog yang menyebarkan lowongan pekerjaan itu? Apakah itu pengalaman mereka? Apakah itu hobi mereka? Kalau hobi, maka itu adalah hobi yang aneh, karena mereka seolah-olah mematikan secara tidak langsung situs resmi pembuka lowongan itu. Blog bukanlah media penyebaran lowongan kerja seperti itu. Dan kalau memang blog digunakan untuk itu, lebih baik tidak usah ada situs resmi untuk setiap instansi pemerintah atau perusahaan. Gunakan saja layanan blog. 😉

Dan para penyebar kunci jawaban SNMPTN hari pertama itu. Saya tahu maksud mereka baik agar siswa bisa mempersiapkan diri menghadapi SNMPTN hari kedua. Tapi menyebarkan lewat blog? Saya rasa tidak bijak. Dengan diterbitkannya post semacam itu, siswa akan merasa bahwa Anda mempunyai kunci jawabannya sehingga mereka berpikir Anda pasti punya kunci untuk hari kedua. Tapi daripada hanya memberikan kunci, bukankah lebih baik memberikan penjabarannya sekalian? Tidakkah mereka sadar efek dari post mereka justru melatih bangsa ini menjadi bangsa yang malas dan tidak mau berusaha? Lihat saja, banyak komentar yang meminta kunci jawaban untuk hari kedua, bahkan ada yang sampai memberikan nomor handphone. Konyol. Tidakkah mereka sadar bahaya memamerkan nomor HP mereka di tempat umum? Dan apakah mereka sudah tidak punya semangat juang sehingga sampai mengemis kunci jawaban pada orang yang (mungkin) belum dikenal?

Blog juga bukan sebagai (pinjem istilahnya Xaliber) harddisk online, dimana kita bisa mengumpulkan artikel maupun berita yang kita sukai dengan cara menjiplaknya dari situs yang bersangkutan. Kita mungkin mendapatkan trafik dengan cara seperti itu, tapi tahukah kita bahwa tindakan itu sama saja dengan tidak mengakui tulisan orang lain? Orang tersebut, dalam hal ini wartawan, sudah berkeringat mencari berita lalu menulisnya, dan kita seenaknya menjiplak tulisan itu dan mengakui itu tulisan kita? 😕

Lalu blog-blog mesum itu, apa sebenarnya tujuan mereka? Merusak moral bangsa? Menghancurkan generasi penerus? Apa itu juga termasuk hobi mereka, yang sering membaca cerita semacam itu? Jika memang mereka suka menulis tulisan mesum, kenapa tidak bergabung dengan forum-forum yang menyediakan fasilitas itu? Atau jangan-jangan ini merupakan manifestasi pengalaman mereka yang tidak kesampaian? 😆

Sekarang mari kita lihat blog-blog dari luar negeri, kita ambil saja yang berbahasa Inggris. Blog “Watts up with that?”, ditulis oleh seseorang yang bekerja dan memiliki hobi di bidang cuaca, mengambil tema tentang global warming dan alternative energy, yang diolah menurut sudut pandangnya sendiri. Seperti dinyatakan dalam about page-nya:

While I have a skeptical view of certain issues, I consider myself “green” in many ways, and I promote the idea of energy savings and alternate energy generation.

Blog milik Miss Elizabeth Wong, berisi tentang pengalaman beliau, dan dalam about page menyatakan begini:

This blog is primarily an archival site of writings and photographs, with the occasional notes-to-self to clear out some thoughts.

Di blog Young Guns ada tulisan tentang skuad muda Arsenal dan beberapa analisanya. Nah, Anda lihat? Nothing such porn, job vacancy, or else. Mereka benar-benar paham apa tujuan adanya layanan blog.

Ironisnya, banyak masyarakat Indonesia berpendapat bahwa bad news is a good news. Mereka ikut menyebarkan rumor-rumor tak sedap seperti foto sure™ artis atau oknum pemerintah, yang bisa menjelekkan nama baik mereka. Padahal mereka sendiri tidak punya bukti yang kuat seperti darimana mereka dapat info itu dan apa alasan mereka ikut menuduh. Kalau Anda bilang bahwa sudah ada fotonya, itu tidak bisa jadi bukti yang otentik. Ini zaman teknologi, kawan, sudah banyak software yang bisa digunakan untuk memanipulasi foto lalu di upload di internet. 😉

Jujur, saya sendiri kurang suka blog disalahgunakan seperti itu. IMO, kalau memang ingin membuat blog, cari dulu makna blog itu apa. Jangan seenaknya membuat blog dan memuat tulisan (maaf) sampah seperti itu. Saya masih cenderung kepada blog yang memuat tulisan ilmiah, lirik lagu, sampai tentang curhat. Pokoknya yang bisa berdiskusi dengan nyaman. Setidaknya itu lebih menunjukkan fungsi blog.

Ah, tak terasa saya menulis sudah 2,5 halaman Ms. Word. Nah, sekarang saya kembalikan kepada Anda. Apakah ketiga kategori blog yang saya sebut itu layak disebut blog? 😀

Tentang Reinhart

Don't wait. The time will never be just right.
Pos ini dipublikasikan di My Interest, My Thoughts dan tag , , , , , , . Tandai permalink.

52 Balasan ke Makna Blog yang Sebenarnya

  1. Taruma berkata:

    Klo pamflet kan dah dicomot idenya ma NF..
    Cara terakhir lewat internet..
    Yah, mungkin namanya juga COBA-COBA..
    Komennya panjang bener mas.. Tapi, keren lah. POKOK’E MAKNYUS…

  2. goldfriend berkata:

    Padahal apa untungnya pake WordPress kalau orientasinya hits ? 😆 Dan itulah yang mungkin membuat saya betah di wordpress karena saya takut untuk tergoda “menggadaikan” apa yang di kepala saya dengan segepok hits dan duit yang didapat dari iklan jika memakai hosting sendiri. 🙂

    *cuma pendapat pribadi*
    *hits saya cuma beberapa puluh/hari kok* 😛

    Tapi yang kamu tulis itu adalah hal yang normatif dan idealis. Saya sendiri nggak bisa menyalahkan bloger lain kalau dia keluar dari pakem normatif dan idealismenya, tetapi setidaknya saya akan tetap di jalur ini : bahwa blog dalam pengertian pribadi adalah sesuatu yang normatif dan idealis seperti berbagi ilmu, mencari teman, dll.

    Dan saya tidak bisa memaksa mereka untuk memiliki idealisme seperti itu. Orientasi setiap orang ketika dia membuka blog itu berbeda.

    Mudah-mudahan seorang Pandu tetap di jalur ini ketika berhadapan dengan sesuatu yang lebih “menggoda”. 🙂

  3. p4ndu_454kura© berkata:

    @ Xaliber von Reginhild
    Seperti ini, mungkin? 😀
    @ Rei
    Nggak masalah, kan?
    @ Taruma
    Ya… kalau memang nggak ada jalan lain sih terpaksa. Tapi saya tetap merasa kasihan dengan mereka yang sudah memberi nomor hape mereka.
    @ goldfriend
    Iya, ya… di WordPress[dot]com kan nggak bisa dipasang adsense, flash, atau semacamnya. Jadi kenapa nyari trafik? Toh nggak akan dapat uang segerobak dari WP. 😆

    BTW, saya sudah dibuatkan ibu saya subdomain buat kerja lewat internet. Semoga saya tetap apa adanya meskipun cobaan menghadang. 🙂

  4. alex® berkata:

    @ p4ndu_454kura©

    Tidak harus, seharusnya. Kalau dilanggar, akibatnya ditanggung yang melanggar. Baik itu akibat baik maupun buruk. :mrgreen:

    Kata “seharusnya” itu memang mengedepankan makna “saran”, seperti “alangkah baiknya jika…”. Tapi sayang, saya menangkap makna lain ketika seseorang berkata, “Tulisan-tulisan yang ada di blog seharusnya berupa pengalaman pribadi dan beberapa hobi mereka.”. Mungkin saya salah, tapi dalam hal ini saya tidak pernah sepakat. Biarkan saja evolusi menemukan jalannya, bukankah demikian? 😀

    Ya, saya tahu. Tapi mayoritas mereka melakukannya di hosting mereka sendiri, bukan di hosting gratis semacam WordPress[dot]com, Blogspot, dan yang lainnya. Ingat, bahwa kebanyakan blogger Indonesia jarang membaca ToS di hosting gratisan (termasuk saya), di ToS WordPress misalnya. 🙂

    Lihat kata yang saya tebalkan? 🙂

    Saya minta bukti “mayoritas” itu darimana dilihatnya? Statistiknya, mungkin? Kata “kebanyakan” itu juga generalisir yang persis seperti 68%™ pakar u-know-who sering gunakan. Nggak bisa dijadikan acuan utk justifikasi pendapat.

    Saya sudah bilang, saya sering menemukan konten blog luar yang (kurang-lebih) sama busuknya dengan kriteria “sampah” versi pandu itu.

    Saya nggak bikin standar, lho. Saya cuman melihat dari sudut pandang definisi yang ada. Saya sendiri juga kaget kalau definisinya seperti itu.

    Ya, saya tahu pandu sedang beropini. Itu bagusnya blogosphere, bahwa kita bisa memberikan definisi disertai apa yang seharusnya dilakukan utk mengikuti penyesuaian dengan definisi kita itu. I love this world 😆

    Saya sendiri sama sekali nggak punya pengalaman maupun hobi yang berkaitan dengan, misalnya, tanaman pemakan serangga yang saya tulis waktu pertama kali ngeblog atau tentang siapa yang sebenarnya menemukan benua Australia. Murni hanya ingin berbagi. 😛

    That’s not a big deal, boy. It’s okey with me. Now… are you okay with those blogger out there? You gotta deal with that too 🙂

    Ouwhh.. by the way, blogger-blogger itu juga sepertinya bisa mengatakan bahwa mereka ingin berbagi, meski cuma tulisan berbau sperma dari postingan bokep. Ada banyak selera pasar di dunia digital yang nyaris tanpa hamba dan tuan ini :mrgreen:

    Harap dipahami, saya bukan membela mereka. Saya sendiri, personally, tidak menyukai tipe-tipe blog demikian. Sejujurnya, saya memiliki kosakata lebih najis dari sekedar kata “sampah” utk menghakimi blog demikian. Sayangnya, saya tidak merasa diri saya seleb blog atau blogger berkualitas tinggi utk bisa mempublikasikan mencak-mencak saya akan hal itu. Saya tdak mau seperti dosen satu kampus negeri yang cukup tenar dan kemarin tu sempat misuh-misuh karena blog para selebriti tidak sesuai standarnya dan disebutnya “menye-menye”, sementara postingannya sendiri sama “menye-menye”.

    Ya, saya tidak suka dengan blog-blog tersebut, tapi saya tidak suka jika hak mereka (sepanjang tanpa pemaksaan) mesti diharus-haruskan dengan definisi saya sendiri. Toh, kalau melanggar, akibatnya juga akan ditanggung oleh yang melanggar itu sendiri, bukan? 😀

    @ Catshade

    Saya setuju kalau dibilang tidak ada otoritas dalam ngeblog (which is what makes all the discussions seem futile and useless karena gak ada tindak lanjutnya), tapi saya juga nggak setuju kalau itu diartikan kita boleh ngeblog sebebas-bebasnya, suka-suka kita.

    Saya juga tidak setuju. Tapi saya tidak suka bahwa dengan ide ketidak-setujuan saya itu, lalu saya boleh memvonis sembarang blog yang tidak sesuai dengan definisi saya atau dengan kriteria blog pujaan hati-rembulan mimpi-jantung pisang-idaman diri… bla bla bla yang saya kultuskan 😀

    Bagi saya, blog (yang bukan dikunci secara privat) itu adalah ranah publik, bukan ranah pribadi. Blog punya kekuatan potensial yang besar untuk mengubah masyarakat, dan karena itu pulalah kita juga punya tanggung jawab yang besar terhadap seluruh calon pembaca blog kita.

    Hmm… apa kita tidak menjadi seperti umat-umat yang memandang ngeri dengan kasus-kasus pembahasan agama di blog yang dirasanya berbahaya terhadap dogma? Bukankah dengan alasan tanggung-jawab terhadap pembaca blog pula para pemrotes memprotes? 😛

    Nah, berhubung tidak ada otoritas dalam ngeblog, lalu siapa yang menentukan tanggung jawab seorang blogger? Dalam hal ini, saya mengamini apa kata Goenawan Mohamad ketika ditanya mengenai siapa yang menentukan pesan moral dalam sebuah karya sastra, “hati nuranimu sendiri.” Jadi ya kita bisa melihat sendiri siapa blogger yang nggak punya hati nurani…

    Aduh… “hati nuranimu sendiri” itu terlalu naif, IMHO. Jujur saja, saya menganggap kriteria dan pandangan Pandu di sini juga cukup naif. Memilah antara yang bagus dan baik dengan selera sendiri. Sebatas opini its okay, tapi dengan stempel? C’mon…, saya juga tidak menyukai sejumlah blog yang saya fatwakan najis utk diri saya sendiri, tapi saya tidak mau mengatakan ke publik hanya dengan rasa ketidak-cocokan itu. Biarkan saja, kritik di blognya itu sendiri kalo memang sudah tak tertahankan. Another way? Submit report, seperti yang saya sendiri lakukan saat melihat blog porno muncul di BOTD dan memberi “Report as mature”. Tidak lebih dari itu :mrgreen:

    Kritikan pandu di sini bagus, but… don’t go too far… Setiap orang punya alasan, dan alasan tersebut tidak harus cocok dengan kita 🙂

    Errr….

    Dengan selera ‘baca’ pengguna internet Indonesia yang masih seperti itu, bayangkan berapa banyak calon-calon Priyadi/Ndoro Kakung/Jennie S. Bev yang telah kita kubur sampai saat ini? 😕

    Ya, mereka blogger-blogger bagus. I gotta admit it. Tapi, apa menjadi blogger berkualitas mesti berstandar pada 1-2-3 blogger? No offense :mrgreen:

    Ebuset! Jadi ngeblog di sini? 😯

    *ditendang pandu* 😆

  5. saKuZo berkata:

    uweee… komen panjang lebar dari orang-orang pintar semua.. waaaahh… blog aku gada apa-apanya, saiia msh newbie, jarang nge-upadate blog, masih belajar cara-cara nge-blog yang baik, tapi sepertinya blog ak g msk kategori yg ntu dh 🙂

  6. p4ndu_454kura© berkata:

    Wadoh, ada yang terlewat. 😛
    @ Catshade

    Masalahnya, ‘pasar’ (dengan kata lain, para pembaca blog Indonesia) tidak memberikan mekanisme penghargaan dan hukuman yang setimpal (malah cenderung terbalik) terhadap para blogger. Seseorang yang ngeblog mengenai pendidikan atau tips-tips mengasuh anak mungkin cuma mendapat beberapa gelintir hits selama beberapa bulan, sementara mereka yang ‘ngeblog’ pornografi atau copy-paste bisa dapet puluhan ribu hits dalam satu hari saja.

    Mungkin ini berkaitan dengan pola pikir seseorang. Orang yang kurang menghargai ilmu dan lebih mementingkan kesenangan akan segera pergi dari blog-penuh-tulisan-nan-panjang-dan-membosankan dan pergi ke blog-yang-penuh-tulisan-“menyenangkan”-dan-“membangkitkan-semangat”.

    Rasanya dari atas belum ada yang menyinggung masalah ’selera pasar’ atawa sisi ‘demand’-nya. Dan begitu kita berbicara mengenai bagaimana mendidik selera baca pengguna internet Indonesia, saya kira ujung-ujungnya akan ngomongin masalah pendidikan juga (yang menurut saya diskusinya udah seperti benang kusut).

    Yep, ujung-ujungnya sering ke pendidikan sang konsumen. 😛
    @ alex®

    Mungkin saya salah, tapi dalam hal ini saya tidak pernah sepakat. Biarkan saja evolusi menemukan jalannya, bukankah demikian? 😀

    Tetapi evolusi pun tidak akan menemukan jalannya kalau tidak ada faktor pendorongnya, bukan? :mrgreen:

    Saya minta bukti “mayoritas” itu darimana dilihatnya? Statistiknya, mungkin? Kata “kebanyakan” itu juga generalisir yang persis seperti 68%™ pakar u-know-who sering gunakan. Nggak bisa dijadikan acuan utk justifikasi pendapat.

    Saya gugling guling-guling dengan keyword ini. Dan mayoritas yang saya maksud adalah mereka yang hosting pribadi, lebih banyak daripada yang menumpang di hosting gratisan. Tentu saja terbatas hanya yang bisa dilacak oleh search engine. 🙂

    That’s not a big deal, boy. It’s okey with me. Now… are you okay with those blogger out there? You gotta deal with that too 🙂

    Of course, I’m allright with that. 🙂

    Ouwhh.. by the way, blogger-blogger itu juga sepertinya bisa mengatakan bahwa mereka ingin berbagi, meski cuma tulisan berbau sperma dari postingan bokep. Ada banyak selera pasar di dunia digital yang nyaris tanpa hamba dan tuan ini :mrgreen:

    Makanya, saya memberikan solusi untuk menulisnya di forum-forum yang memang bertema demikian, atau mengirimkan tulisan mereka ke situs-situs penyedia layanan porno. Toh saat ini banyak situs yang membuka kesempatan bagi pengunjungnya untuk ikut berpartisipasi. 😉

    Saya tdak mau seperti dosen satu kampus negeri yang cukup tenar dan kemarin tu sempat misuh-misuh karena blog para selebriti tidak sesuai standarnya dan disebutnya “menye-menye”, sementara postingannya sendiri sama “menye-menye”.

    Siapa? Sang pakar™? 😕
    @ saKuZo
    Lho, blogmu kan isinya banyak yang curhatan, so it’s still okay. 😀

  7. Catshade berkata:

    @alex:

    Tapi saya tidak suka bahwa dengan ide ketidak-setujuan saya itu, lalu saya boleh memvonis sembarang blog yang tidak sesuai dengan definisi saya…

    Sebatas opini its okay, tapi dengan stempel?

    Tolong katakan kepada saya, bung Alex, apakah ada tulisan saya atau Pandu di atas yang memvonis atau menstempel sembarang blog? Tolong dikutip kalau ada biar kami tahu yang mana.

    Dan tolong beri saya pencerahan juga (dengan contoh kalau perlu, saya agak bodoh dalam hal ini), apa yang membuat “sebatas opini” itu berbeda dari “opini dengan stempel” atau “opini plus vonis”?

    Saya sendiri melihat perbedaan “opini” kami dengan “opini” anda tidak jauh-jauh amat. Anda sendiri mengakui tidak suka dengan blog-blog ‘najis’ itu. Bedanya hanya kami mempublikasikan “opini” kami dan mempersuasi pembaca untuk ikut setuju, sementara anda hanya menyimpannya untuk diri sendiri. Apa itu yang anda maksud dengan “vonis” dan “stempel”?

    Btw, kalau anda takut kena karma seperti Budi Raharjo itu (ya Pandu, dia yang bung Alex maksud), saya tahu blog anda kualitasnya jauh di atas kategori blog-blog ‘meragukan’ yang disebut Pandu.

    Hmm… apa kita tidak menjadi seperti umat-umat yang memandang ngeri dengan kasus-kasus pembahasan agama di blog yang dirasanya berbahaya terhadap dogma? Bukankah dengan alasan tanggung-jawab terhadap pembaca blog pula para pemrotes memprotes?

    Yep, kita memang menjadi seperti itu. Mungkin bedanya adalah kita bisa lebih fleksibel dan rasional dalam berdiskusi, sementara diskusi mereka kayaknya tidak begitu lancar karena lebih banyak berlandaskan iman serta ayat dan tafsirnya.

    Aduh… “hati nuranimu sendiri” itu terlalu naif, IMHO. Jujur saja, saya menganggap kriteria dan pandangan Pandu di sini juga cukup naif. Memilah antara yang bagus dan baik dengan selera sendiri. Sebatas opini its okay, tapi dengan stempel? C’mon…, saya juga tidak menyukai sejumlah blog yang saya fatwakan najis utk diri saya sendiri, tapi saya tidak mau mengatakan ke publik hanya dengan rasa ketidak-cocokan itu. Biarkan saja, kritik di blognya itu sendiri kalo memang sudah tak tertahankan. Another way? Submit report, seperti yang saya sendiri lakukan saat melihat blog porno muncul di BOTD dan memberi “Report as mature”. Tidak lebih dari itu :mrgreen:

    Kritikan pandu di sini bagus, but… don’t go too far… Setiap orang punya alasan, dan alasan tersebut tidak harus cocok dengan kita

    So now we’re naive because we voice our concern? C’mon, kok sekarang saya merasa andalah yang memberi “vonis” dan “stempel” pada saya dan Pandu. Jadi supaya tidak naif lagi (padahal saya suka Naif lho), sebaiknya kami cenderung diam saja, begitukah yang bung Alex maksud? Apakah menyuarakan opini yang naif semacam itu yang anda anggap “going too far”?

    Dengan segala hormat kepada opini anda, bung Alex, saya percaya bahwa satu-satunya cara untuk menguji benar/salah atau bagus/buruknya opini kita adalah dengan menyuarakannya (dengan segala risikonya) dan mendapat umpan balik, not by being silent and unchallenged. Coba kalau pandu tidak menulis ini atau saya tidak berkomentar, kan kami tidak tahu kalau pandangan kami itu ternyata naif. 😉 😉 😉

    Dan btw bung Alex, bukankah dari tadi anda sudah mempublikasikan opini anda sendiri (mengenai ketidaksukaan pada blog-blog najis itu)? ^^;

    Btw lagi, saya minta maaf kalau saya jadi terkesan agresif. Agak sedikit terlalu bersemangat saja, soalnya sudah lama saya nggak berdebat terbuka panjang lebar begini ^^;

  8. alex® berkata:

    @ Catshade

    Tolong katakan kepada saya, bung Alex, apakah ada tulisan saya atau Pandu di atas yang memvonis atau menstempel sembarang blog? Tolong dikutip kalau ada biar kami tahu yang mana.

    Hmm… Di komennya Catshade, saya tidak melihat pemberian stempel demikian atau vonis. Tidak langsung pada blog tertentu. Tapi beberapa link yang ada di postingan itu, apa tidak memberi “pengesanan” bahwa blog-blog demikian adalah blog yang dirujuk adalah “blog yang tidak baik” ?

    Dan tolong beri saya pencerahan juga (dengan contoh kalau perlu, saya agak bodoh dalam hal ini), apa yang membuat “sebatas opini” itu berbeda dari “opini dengan stempel” atau “opini plus vonis”?

    Bagi saya, batasan beropini itu adalah ketika tidak spesifik mencantumkan perbandingan antar blog dengan memberi tautan lalu membandingkan dengan blog-blog yang kita anggap best of the best. Setiap orang memiliki ukuran kualitasnya sendiri. Bagi saya, biarkan saja mengalir. Mengkritik adalah kebutuhan, tapi bukankah tidak mesti memberi keharusan. Ya, saya tahu ini opininya Pandu, dan saya mentoleransi karena yang di sini cuma sebatas opini masih, belum seperti kasus orang yang saya maksudkan itu.

    Saya sendiri melihat perbedaan “opini” kami dengan “opini” anda tidak jauh-jauh amat. Anda sendiri mengakui tidak suka dengan blog-blog ‘najis’ itu. Bedanya hanya kami mempublikasikan “opini” kami dan mempersuasi pembaca untuk ikut setuju, sementara anda hanya menyimpannya untuk diri sendiri. Apa itu yang anda maksud dengan “vonis” dan “stempel”?

    Ya. Opini saya, catshade dan pandu secara garis besar sama. Tapi saya lebih memilih untuk mendatangi blog yang bersangkutan jika saya ingin mengkritik. Cara yang berbeda, yang membuat cara pandangnya jadi berbeda.

    Apa itu yang saya maksudkan dengan stempel? Bisa ya bisa tidak. Ya, jika standar kualitas yang didefinisikan demikian, lalu blog-blog lain menjadi terkategorikan sebagai sampah. Sampah atau tidak, saya kira tolok ukurnya terlalu sempit jika menurut persepsi kita. Misal, bagi mereka yang memang membutuhkan update AVG, bisa jadi blog yang memberi tautan update tersebut bukan sampah.

    Btw, kalau anda takut kena karma seperti Budi Raharjo itu (ya Pandu, dia yang bung Alex maksud), saya tahu blog anda kualitasnya jauh di atas kategori blog-blog ‘meragukan’ yang disebut Pandu.

    😆

    Ya, memang beliau yang saya maksudkan :mrgreen:

    Betewe, saya tidak pernah merasa, sampai saat ini, bahwa blog saya sedemikian jauh berkualitas. Justru karena sama-sama gelandangan di blogosphere yang tidak masuk jajaran selebriti, saya mencoba toleran dengan mereka. Butuh proses utk dewasa, demikian pula blog.

    Yep, kita memang menjadi seperti itu. Mungkin bedanya adalah kita bisa lebih fleksibel dan rasional dalam berdiskusi, sementara diskusi mereka kayaknya tidak begitu lancar karena lebih banyak berlandaskan iman serta ayat dan tafsirnya.

    IMHO, Iman, ayat dan tafsir itu bisa muncul dalam bentuk lain di ranah blogosphere ini. Misal saja, jika saya mendefinisikan apa itu blog berdasarkan referensi saya sendiri, dan lalu membuat keharusan bagi blog-blog lain utk mengikuti referensi itu, tanpa memberi peluang mereka berkembang, apa saya tidak menjadi bigot atau malah bentuk lain dari despotism dalam hal ini? 😕

    Saya cuma memberikan pendapat saya agar hal demikian tidak sampai terjadi.

    So now we’re naive because we voice our concern? C’mon, kok sekarang saya merasa andalah yang memberi “vonis” dan “stempel” pada saya dan Pandu.

    Ya. Penyuaraan saya pada peluang blog-blog utk terkembang juga merupakan kenaifan tersendiri yang sama. Apa saya memberi vonis? Saya minta maaf jika demikian yang terasa, meski saya bisa berdalih bahwa ini juga kritik 🙂

    Tidak, saya tidak memaksudkan untuk memberi vonis. Tapi, well… bukankah persepsi masing-masing yang menentukan penilaian? Saya menilai ada gejala vonis di sini, demikian pula penilaian saya bisa dinilai sebagai vonis pula.

    Jadi supaya tidak naif lagi (padahal saya suka Naif lho), sebaiknya kami cenderung diam saja, begitukah yang bung Alex maksud? Apakah menyuarakan opini yang naif semacam itu yang anda anggap “going too far”?

    Ya, saya juga suka naif (secara band, literal atau harfiah). Apa harus diam? Tidak. Suarakan, kritiki, siapa yang akan bisa menahan? Cuma, apa kritik juga tidak bisa dikritiki, menjadi pertanyaan lain di sini. Pandu dan saya dan anda dalam sejumlah hal sama resahnya dengan gejala-gejala yang dimunculkan blog-blog yang, uhmm… tidak berkualitas bagus di mata pribadi tertentu. Tapi saya juga mengkhawatirkan gejala bahwa penentuan standar kualitas-tidak berkualitas ini, cuma menciptakan altar pemujaan yang mengacu pada kultus individu (dengan memberi sampel yang seharusnya diikuti atau dikuatirkan tidak akan lahir lagi). Ini yang membuat saya menolak. Dengan respek pada sampel seperti Priyadi, Ndoro Kangkung dll, saya harus katakan bahwa saya justru tidak memiliki hasrat utk melihat duplikasi dengan standar blogger-blogger tertentu mewujud di ranah blogosphere ini 🙂

    Dengan segala hormat kepada opini anda, bung Alex, saya percaya bahwa satu-satunya cara untuk menguji benar/salah atau bagus/buruknya opini kita adalah dengan menyuarakannya (dengan segala risikonya) dan mendapat umpan balik, not by being silent and unchallenged. Coba kalau pandu tidak menulis ini atau saya tidak berkomentar, kan kami tidak tahu kalau pandangan kami itu ternyata naif. 😉 😉 😉

    Dengan segala hormat pada opini anda pula, maka saya juga percaya bahwa terkadang opini yang disuarakan jika tidak disahuti dengan opini lain sebagai counter atau penyeimbang, maka opini-opini tersebut akan menjadi mainstream tersendiri yang akan menyeret beberapa kali perulangan kejadian yang sama di ranah blogosphere. Saya masih ingat sampai saat ini betapa kritik tentang kupipes dalam ranah blogosphere pernah menjadi ajang penghakiman pada seorang siswi SMU yang masih lugu dalam ngeblog lalu ikut dalam sebuah blog festival. Dan itu muncul dari opini-opini, yang saya tidak ingin yang demikian terulang lagi.

    Dan btw bung Alex, bukankah dari tadi anda sudah mempublikasikan opini anda sendiri (mengenai ketidaksukaan pada blog-blog najis itu)? ^^;

    Ya, benar 😀

    Tapi apa saya eksplisit mencantumkan taut? Apa saya menuliskan tautan ke blog-blog tersebut? Apa itu tidak sama dengan saya mengatakan, “Ini lho alamat rumah orang yang… yeahh… agak-agak sampahlah tulisannya…” ?? 🙂

    Btw lagi, saya minta maaf kalau saya jadi terkesan agresif. Agak sedikit terlalu bersemangat saja, soalnya sudah lama saya nggak berdebat terbuka panjang lebar begini ^^;

    Saya juga minta maaf karena melibatkan diri dengan berkesan agresif. Saya juga bersemangat kalau melihat pendefinisian keharusan muncul di ranah blogosphere 😀

  9. alex® berkata:

    Betewe… meski seperti paranoia, saya cuma tidak mau arus pengharusan nantinya mengarah pada model si anti kristus ini, yang membelah blog menurut persepsinya sendiri.

    Ah, saya jadi ikut mencantumkan link pula ini 😛

  10. leksa berkata:

    mau ngeblog aja kok repot…

  11. Mad Max berkata:

    *komen satir*
    halah, sampeyan ini gimana to? Blog Aing, ya kumaha Aing lah!
    wakakakakak 😆
    keknya fenomena blog akan bertumbuh pesat layaknya prenster aja nih….

  12. ghaniarasyid™ berkata:

    blog saya adalah diri saya.
    ungkapan hati…
    cerminan jiwa.

    beda dengan Friendster
    karena itu saya meninggalkan Friendster :mrgreen:

    – – –
    Making my way downtown. Walking fast. Faces pass. And I’m home bound…

  13. shei berkata:

    Awww..
    begitukah..
    kalo saia sih, Blog pokoknya bisa menuang aspirasi dan media curhat..
    🙂
    gud thought, Ndu 🙂

  14. frozenx berkata:

    wah jujur baru tau definisi blog secara “resmi”. Sebelumnya masih samar-samar. Tapi sebagian besar setuju sih sama pemikirin mas pandu. Walaupun kadang-kadang kalo ada joke yang lucu, unik & baru banget saia kupipes juga tuh kayak ini: http://frozenxcode.wordpress.com/2008/07/10/jokenew-digital-based-religionexavoltism/ 😀

  15. p4ndu_454kura© berkata:

    @ Catshade

    Btw, kalau anda takut kena karma seperti Budi Raharjo itu (ya Pandu, dia yang bung Alex maksud),

    Wah, saya jarang ke blognya paka Rahard akhir-akhir ini. Jadi saya nggak tahu kalau ada isu itu. 😛

    Btw lagi, saya minta maaf kalau saya jadi terkesan agresif. Agak sedikit terlalu bersemangat saja, soalnya sudah lama saya nggak berdebat terbuka panjang lebar begini ^^;

    Nggak apa-apa… nggak apa-apa…
    Saya juga sudah kangen diskusi panjang x lebar=luas seperti ini. :mrgreen:
    @ alex®

    Hmm… Di komennya Catshade, saya tidak melihat pemberian stempel demikian atau vonis. Tidak langsung pada blog tertentu. Tapi beberapa link yang ada di postingan itu, apa tidak memberi “pengesanan” bahwa blog-blog demikian adalah blog yang dirujuk adalah “blog yang tidak baik” ?

    Saya memberi link-link itu hanya menunjukkan bahwa blog-blog semacam itu memang ada (khusus pembaca di luar lingkup WP yang tidak tahu isi BOTD), jadi supaya tidak dikira hoax.

    Betewe, saya tidak pernah merasa, sampai saat ini, bahwa blog saya sedemikian jauh berkualitas. Justru karena sama-sama gelandangan di blogosphere yang tidak masuk jajaran selebriti, saya mencoba toleran dengan mereka. Butuh proses utk dewasa, demikian pula blog.

    WordPress ini, IMO, sama seperti negara ini. Pengisi lowongan di BOTD sebagai anggota MPR, sedangkan kita hanya sebagai rakyat biasa. Sebagai rakyat, tentunya kita juga berhak menyuarakan aspirasi ketika pemimpin kita “sedikit” menyimpang, kan?

    Saya masih ingat sampai saat ini betapa kritik tentang kupipes dalam ranah blogosphere pernah menjadi ajang penghakiman pada seorang siswi SMU yang masih lugu dalam ngeblog lalu ikut dalam sebuah blog festival. Dan itu muncul dari opini-opini, yang saya tidak ingin yang demikian terulang lagi.

    Maaf, saya mengikuti lomba itu, dan saya tidak punya maksud apapun selain memberikan fakta-fakta yang ada. Saya hanya sebal, karena dia mengikutkan blog yang penuh cp itu ke sebuah lomba, dan dia menjadi pemenangnya. Saya juga tidak menyangka efek dari hal itu jadi berantai, karena saya tidak menghendaki adanya hujatan-hujatan yang seperti itu.

    Tapi sudahlah, yang penting dia sudah mau meminta maaf dan saya rasa itu sudah cukup buat saya.

    Betewe… meski seperti paranoia, saya cuma tidak mau arus pengharusan nantinya mengarah pada model si anti kristus ini, yang membelah blog menurut persepsinya sendiri.

    Yah, kalau dia sih sepertinya dia belum membaca halaman about dari blog-blog yang dia link, atau dia belum tahu kalau itu tulisan bernada satir. 😛
    @ leksa
    [satire]
    Mangkanya™, kan tinggal klik Sign Up, isi data, dan ndak usah baca ToS yang panjang itu. Kan terserah kita blognya mau diisi apa.
    [/satire]
    @ Mad Max
    Fenomena blog? Ah, topik yang menarik, tuh.
    Coba saya bikin dulu post-nya. 🙂
    @ ghaniarasyid™
    Blog memang jauh lebih baik dari FS. Emang, gunanya FS apa sih?
    @ shei
    Blog saya adalah dunia saya.
    Mengunjungi blog saya berarti memasuki dunia saya… ^^
    @ frozenx
    Sebenarnya ini bukan definisi yang resmi, sih. Cuman berdasarkan aplikasi kamus di PC. ^^a

  16. sagung berkata:

    Waduuuuh………..

    Lha isi blog saya apa??
    Smuanya saya isi ke Blog saya alias sa’karepe dewe.

  17. Fairuz Azzahra berkata:

    Jadi tertegun, dan mikir.

    Jujur aja, saya belum pernah nemu blog yang isinya lowongan kerja, kunci jawaban SNM-PTN (sebagai peserta tahun ini, ga punya waktu buat nge-net untuk beberapa lama T_T). Dan sebagai orang yang tergolong baru di dunia blog, saya juga masih suka nyampah ga penting di postingan saya. Cerita seenak udel, he he he.

    Tujuan awal saya bikin blog emang supaya bisa tetep keep contact sama temen-temen selulus dari SMA, tetep bisa tau cerita satu sama lain setelah ga satu daerah lagi. Saya pikir ini lebih berguna daripada friendster (^^). Tapi lama-lama jadi mikir, ga seru amat kalo cuma cerita pengalaman pribadi. Akhirnya lama-lama mulai nge-post resensi film atau buku yang baru ditonton, puisi-puisi yang mendekam sekian lama di hardisk, pikiran-pikiran dan ide-ide, sama hal-hal baru yang saya dapat, biarpun tetep aja lebih banyak curhat dan ngisi lirik lagu yang lagi disuka. ^^

    Satu hal yang saya sadari, blog itu buat saya sebagai sarana menulis, buat ngembangin kemampuan, sebagai media belajar mengungkapkan sesuatu supaya menarik dibaca, itung-itung latihan buat mewujudkan obsesi menjadi penulis… ^^

  18. amin berkata:

    wah mas emang bener yang namanya blog tu bisa bikin qt seneng bwt mengisi aktifitas kita..
    jadi jangan ampe ketinggalan ya..
    ayo semuanya buat blog pribadi..

  19. dana berkata:

    Tulisan yang bagus. Membuat saya berpikir ulang. 😀

  20. Ping balik: Tersesat « Insan Perubahan

  21. anggavantyo berkata:

    posting panjang, komen panjang.. hehehe.. nice blog! mau tukar link?

  22. afwan auliyar berkata:

    yah namanya juga masyarakat indonesia …. 😀

    bnyak kan yg salah kaprah !?!??!

    ayo… kita kembalikan blog ke posisi semula ….

    klo yg saya tau blog asal muasalnya dari weblog… yang artinya log dari sebuah web …. 😀

Tinggalkan komentar