Surabaya. Apa yang ada di benak Anda saat saya menyebutkan nama ini? Apakah mungkin langsung tergambar sebuah kota yang penuh dengan kemegahan, mall, dan gedung-gedung bertingkat? Ataukah kota yang asri dimana memiliki banyak tumbuhan yang besar dan rimbun untuk ukuran kota metropolitan? Atau mungkin bagi Anda yang suka dengan hal berbau kuliner, langsung terbayang masakan tradisional Surabaya, rujak cingur.
Surabaya memang kota yang sangat megah, memiliki berjuta pesona yang tak kalah dari Jakarta. Sehingga tidak salah jika Surabaya diibaratkan sebagai Jakarta kedua. Akan tetapi di balik itu semua, Surabaya masih memiliki permasalahan yang sudah menjadi tradisi selama bertahun-tahun. Apalagi kalau bukan masalah banjir. Setiap musim penghujan, Surabaya selalu tenggelam dalam banjir.
Dan jika sudah banjir, masyarakat pun langsung berteriak dan mengkritik pemkot dalam menangani masalah ini. Padahal, selama ini pemkot tidak henti-hentinya melakukan pembersihan dan pengerukan sungai. Tapi apa daya, masyarakat itu sendiri yang selalu sampah dan limbah ke sungai. Terbukti, bulan lalu terjadi pencemaran air karena kadar limbah dalam air sudah terlalu tinggi sehingga masyarakat Surabaya pun terpaksa mengurangi penggunaan air mereka.
Banjir biasanya tidak datang sendirian. Bersamaan dengan itu, datang pula berbagai macam penyakit seperti diare, gatal-gatal, influenza, dan masih banyak lagi. Hal ini bisa menyebabkan daya tahan tubuh semakin melemah dan akhirnya bisa terjangkit penyakit yang lebih ganas.
Banjir juga dapat menyebabkan macet yang amat parah. Hal ini disebabkan kendaraan selalu berjalan pelan-pelan saat banjir, dan di saat bersamaan kendaraan terus bertambah dalam kecepatan 2 kali lipat sehingga macet pun tidak bisa dielakkan. Selain itu, kondisi jalan yang rusak semakin memperparah macet.
Saya sendiri sempat mengalaminya Senin kemarin. Saat itu saya baru saja pulang dari latihan persiapan ebta praktek menggunakan angkutan umum. Saat tiba di pintu air Jagir, saya terjebak macet dan tidak bisa bergerak selama sekitar 20 menit. Dan setelah sampai di bawah jalan layang, sopir angkot yang saya tumpangi tidak mau melanjutkan perjalanan ke Terminal Joyoboyo dengan alasan tidak bisa lewat.
Saya pun terpaksa turun dan berniat jalan kaki sampai ke Joyoboyo (niat banget ya?). Beruntung ada Mbak Tini yang sama-sama satu angkot dengan saya berbaik hati meminjamkan memberi saya tas plastik untuk sepatu saya agar tidak basah. Setelah berjalan sampai RSI, barulah saya tahu mengapa angkot saya menolak melanjutkan perjalanan. Mbak Tini pun mengajak saya naik becak sampai terminal.
Penderitaan saya ternyata tidak cukup sampai disitu. Setelah sampai di terminal saya langsung naik angkot lagi ke rumah. Di tengah perjalanan, ibu menelepon saya dan mengatakan bahwa rumah dalam keadaan darurat (banjir). Yah maklum, rumah saya terletak di wilayah Balongsari yang menjadi langganan banjir setiap tahun. Saya pun hanya bisa pasrah ketika sopir angkot kembali menurunkan saya dan penumpang lainnya di depan pos pembayaran PLN di dekat perempatan Indosiar. Dan alasannya pun sama: macet.
Tapi selain diakibatkan oleh banjir, macet bisa disebabkan oleh kurangnya kedisiplinan pengendara di jalanan. Mereka terkadang masih memiliki rasa egois dan tidak mempedulikan pengguna jalan lainnya. Dan kalau sudah demikian, maka sering terjadi kecelakaan yang bisa berujung pada kematian. Lalu ada lagi faktor jalan yang rusak. Disini, pengguna memang tidak bisa beradu kecepatan, tapi mereka harus ekstra hati-hati apabila tidak ingin terjadi kecelakaan.
Lalu, bagaimana cara mengatasi hal-hal tersebut? Sekarang saya kembalikan pada diri Anda masing-masing. Sudahkah Anda membuang sampah di tempat yang seharusnya? Sudahkah Anda tertib dalam berlalu lintas? Sudahkah Anda perhatikan kepentingan orang lain? 😉
Note: Post ini saya muat juga di blog Surabaya saya dan di TPC.
Ping balik: Surabaya, Banjir, dan Macet — TuguPahlawan.Com
banjir oh banjir
kota besar oh kota besar…
kasian yah?
*ongkang-ongkang kaki difurwokerto…*
solusi konkritnya mana? kok mengeluh tok :p
@ hoek soegirang
Iya. Kadang saya iri dengan mereka yang nggak tinggal di kota besar. Ga perlu repot ama yang namanya banjir dan macet. 😦
@ Anang
Solusi konrkitnya kembali ke diri sendiri: Kerja bakti, buang sampah di tempatnya, dan memperingatkan orang lain agar menjaga lingkungannya. 🙂
wah parah ni bulan… udah banjir macet wahh….
malam ni aja mo nyari makan deket kost kudu gulung celana jalanan pada berisi banyu kabeh rek…..
Transmigrasikan penduduk secara besar-besaran… 👿
Surabaya… surabaya….
bikin Kaleidoskop-Blog™ yuk… Liat contohnya di
http://alief.wordpress.com/ 🙂
susahnya tinggal di dataran rendah.. hehe.. tapi sidoarjo nih yg bahaya.. bisa2 lumpur lapindonya meluap n tanggulnya jebol lagi.. aduhh.. moga ga terjadi..
@ Jerry
@ rozenesia
*siap-siap relokasi penduduk*
@ aRuL
Oh Surabayaku… 😐
@ alief
OK, ditunggu ya.
@ obit0
Wah, jangan berdoa kayak gitu. Ntar kalo jebol beneran gimana? 😕
lho? trus doanya gimana dong
moga ga terjadi
bener kan
semoga tidak terjadi
😦
ow…
banjir kiriman dari jakarta kali…
ahaha…
sorry..
Agyaa, banjir!? 😯
Tapi jangankan Surabaya, Bandung aja banjir, sih… (saya nggak pernah kebagian banjir karena tinggal di gunung).
Sabar, sabar… semua kejadian pasti ada maksudnya…
@ obit0
Iya. Harusnya gitu.
Kita harus selalu berpikir positif. 🙂
@ Moerz
Mungkin…
@ Cynanthia
Kalo bisa jangan sampe kebagian banjir deh. Nggak enak.
Ga bisa makan, ga bisa tidur, terus kalo banjirnya surut mesti mbantu ortu mbersihin rumah. 😦
Manusia yang tidak pernah bersahabat dengan alam akan dimusuhi ama alam. Sadarlah…
sebetulnya solusi konkretnya adalah kesadaran dari berbagai pihak, misalkan saja perlu ada uji AMDAL sebelum membangun gedung atau bangunan. jangan sampe daerah serapan air dihilangkan!
mengeluh is the best
@ imcw
*tersadar*
@ nico kurnianto
Yep, itu juga bisa dilakuken. Biar mereka tahu apa dampak negatif dan positif dari bangunan yang akan mereka bangun. 🙂
@ farid
Lha, saya bukan cuma mengeluh, kok.
Saya sudah membiasakan untuk selalu membuang sampah di tempat sampah. Dan itu sudah tertanam di benak saya sejak SD. 😉
hai ndu..
perasaan sekarang surabaya banjirnya jadi merata degh… tak hanya dibeberapa tempat seperti dulu laghee… di rumahku juga bajir…
tapi maw gimana lagi.. mengeluh, teriak, mengeluarkan unek2 sehebat apapun.. keadaannya tetap seperti ini…
maybe all we can do just pray, and try to make everything better.. karena mengeluh aja, tidak cukup..
Ayo, jangan mengeluh! Harus sabar! Jangan lupa sama Tuhan!
@ tu2t
Semoga saja Surabaya bisa jadi kota yang bebas banjir.
*membersihkan selokan*
@ Cynanthia
*berdo’a*
APDETTTTT!!!
Sabaaarr… Masih banjir, nih. 😐
Saya heran kota kota besar kok Banjir, kenapa g ada usaha pencegahan banjir ya, salah satunya harus dilakukan penanaman hutan di Tengah kota donk, ini akan berdampak pada pada penyerapan air. kalau tengah kota udah g ada pohon adanya cuma perumahan, Yaaaa pastilah banjir.
Toko Trubus, 031 8536954
Pelopor Tanaman Kota
Sugino
081328245132
kurangnya lahan resapan,,, makax banjir…..
secara hujan di ciptakan memang untuk di serap oleh tanah toh…
sok tawq aja seh:)